Meminimalisasi Miskomunikasi: Menjadi Komunikan yang Baik

Nabilla Kusuma Vardhani

Dalam artikel sebelumnya, telah dibahas bahwa McCloskey menjelaskan empat asumsi yang memengaruhi komunikasi yakni pengirim pesan (communicator), penerima pesan (communicant), pesan (message), dan media. Mari kita membahas asumsi ke-dua!

Asumsi komunikan berkaitan dengan interpretasi manusia yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Misalnya saat membicarakan rasa pedas, pedas yang dimaksud pengunjung, pelayan, dan chef belum tentu sama. Interpretasi terhadap rasa pedas ini akan sangat tergantung pada field of experience dari masing-masing orang. Di sini, intelligence level menjadi salah satu alasan perbedaan interpretasi komunikan yang satu dengan lainnya.

Pada dasarnya, otak manusia memiliki mekanisme untuk melakukan pencocokan dan pengenalan pola. Dalam menghadapi sesuatu, manusia menilainya berdasarkan pengalaman di masa lalu yang relevan. Inilah yang dimaksud dengan field of experience. Kemudian, intelligence level mengacu pada tinggi dan luasnya pengetahuan seseorang.

Saat mendengar: “Aku ingin bunga yang lebih besar!”

Apa yang muncul dalam pikiran? Apakah itu bunga sebagai tanaman, ataukah bunga bank?

Saat kita sebagai komunikan menerima pesan tersebut dari seseorang, tentunya dalam otak kita segera memproses informasi dari pengalaman sebelumnya; apakah antara komunikator dan komunikan baru saja membahas tentang tanaman bunga, atau imbalan jasa atas penanaman modal.

Dalam situasi ini, ada kemungkinan bagi komunikan untuk salah tangkap terhadap maksud komunikator. Hal pertama yang perlu diingat, penting bagi seorang komunikan untuk mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan oleh komunikator. Komunikan perlu menangkap pesan secara utuh agar tidak terjadi ketidaklengkapan informasi. Sayangnya, seringkali terdapat ‘penyakit’ di mana komunikan mendengarkan bukan untuk memahami, melainkan untuk membalas. Hal ini diungkapkan Stephen R. Covey dalam quotenya yang terkenal:

“Most people do not listen with the intent to understand; they listen with the intent to reply.” — Stephen R. Covey.

Saat hal itu terjadi, kadang komunikan hanya mendengar apa yang ingin dia dengar. Dari informasi A-Z yang disampaikan, yang didengar hanya BCD saja karena tidak berniat untuk memahami. Dalam proses ini, miskomunikasi sangat mungkin untuk terjadi. Nah, untuk meminimalisir hal tersebut, penting bagi seorang komunikan untuk mendengarkan secara seksama.

Selanjutnya, penting juga bagi komunikan untuk menjalin informasi dengan pengalaman di masa lalu. Misalnya, dalam percakapan antara bos dan karyawan, sang bos mengatakan, “Tolong file kemarin dikirim ke saya, ya.” Karyawan perlu mengaitkan dan menarik kesimpulan terkait file mana yang dimaksud oleh bosnya. Karyawan sebagai komunikan perlu mengaitkan dengan konteks apa yang sedang terjadi sehingga pesan yang disampaikan oleh bos dapat terinterpretasi sesuai dengan maksud bos sebagai komunikator. Bila diperlukan, konfirmasi pesan dapat dilakukan saat ada terlalu banyak tumpeng-tindih informasi di masa lalu untuk memastikan bahwa pesan yang diterima memang sesuai dengan yang dimaksudkan.

Terakhir untuk artikel ini, komunikan perlu memperkaya diri dengan banyak membaca untuk menambah khasanah perbendaharaan pengetahuan dan kosa kata. Membaca koran, majalah, karya ilmiah, dan sebagainya dapat menstimulasi seseorang agar tidak hanya pandai dalam berbicara, namun juga mendengarkan.

Mari menjadi komunikan yang baik!

 

Cheers,

Nabilla Kusuma Vardhani

Leave a comment

Your email address will not be published.