Berkenalan dengan Seni Berkomunikasi

Nabilla Kusuma Vardhani

“Pedas ya, Mas!”

“Saya ulang pesanannya ya Mbak, nasi goreng seafood pedas satu”

Percakapan itu terdengar dari meja nomor lima antara pengunjung dan pelayan di sebuah rumah makan. Tak lama kemudian, sepiring nasi goreng seafood disajikan di hadapan perempuan itu. Sebuah kernyitan di dahi menjadi ekspresi pertama darinya setelah suapan yang pertama. ‘Pedas’ yang ia maksudkan tidak sesuai dengan ‘pedas’ yang ia dapatkan.

***

Seringkali kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kita telah menyampaikan sebuah pesan dengan sebaik mungkin kepada seseorang. Misalnya saat melakukan order di rumah makan, pelayan akan mengonfirmasi ulang pesanan kita sebagai tanda ia mengerti apa yang kita mau. Namun demikian saat pesanan datang, feedback yang kita dapatkan ternyata tidak sesuai. Kondisi itu telah dirangkum Robert McCloskey dalam untaian katanya yang terkenal:

I know that you believe that you understood what you think I said, but I am not sure you realize that what you heard is not what I meant.
– Robert McCloskey

Dalam seni berkomunikasi, setidaknya ada empat perangkat yang bekerja yakni pengirim pesan (communicator), penerima pesan (communicant), pesan (message), dan media. Yang sering terjadi adalah ketika komunikator menyampaikan A, komunikan menangkapnya menjadi A- atau bahkan malah B. Ketidaksinkronan interpretasi semacam ini dijelaskan McCloskey dalam empat asumsi:

Asumsi komunikator menjelaskan bahwa komunikator memiliki kemampuan yang berbeda-dalam dalam menyampaikan pesan. Ada yang senang mendeskripsikan dengan detail yang baik, namun ada pula yang lebih senang praktis. Tak jarang ada pula yang kurang mampu menjelaskan apa yang ada di dalam benaknya. Apabila komunikator tidak mampu berkomunikasi dengan baik, maka, yang terjadi ialah kecacatan dalam memberikan sebuah pesan.

Yang ke dua adalah asumsi komunikan, berkaitan dengan interpretasi manusia yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Pedas yang dimaksud pengunjung, pelayan, dan chef belum tentu sama. Interpretasi terhadap rasa pedas ini akan sangat tergantung pada field of experience dari masing-masing orang. Saat komunikator menyatakan “aku ingin bunga yang lebih besar”, ada komunikan yang menangkapnya sebagai bunga secara literal, namun ada juga yang memaknainya sebagai bunga bank. Di sini, intelligence level menjadi alasan perbedaan interpretasi komunikan yang satu dengan lainnya.

Kemudian, ada asumsi pesan yang meyakini bahwa pesan berupa informasi merupakan hal yang abstrak. Sifatnya tidak nyata dan cukup sulit untuk dijelaskan sesuai dengan yang dimaksudkan komunikator. Dalam film “Jagad X Code” beberapa tahun yang lali, flash disk menjadi pesan yang diperdebatkan oleh baik komunikator maupun komunikan yang sama-sama tidak memiliki gambaran mengenai apa itu flash disk.

Terakhir asumsi media, yaitu keyakinan bahwa penggunaan media kadang diperlukan dalam penyampaian pesan. Ada banyak sekali media dan media dalam media yang bisa membantu seseorang untuk mengirim dan menangkap pesan dengan lebih baik. Namun demikian, ada kalanya muncul noise atau gangguan yang menghambat kinerja media ini.

Lalu bagaimana cara meminimalisasi agar komunikasi terjadi dengan baik antara komunikasi dan komunikan? Minggu depan kita akan bertemu lagi dalam ulasan mengenai tips untuk berkomunikasi efektif sebagai komunikator agar kita dapat membicarakan pedas yang sama.

 

Cheers,

Nabilla Vardhani

Leave a comment

Your email address will not be published.